Banten Media - SERANG - Mahasiswa Banten yang tegabung dalam berbagai organisasi kemahasiswaan berunjuk rasa di depan gedung Kampus UIN Banten, Jumat (16/6/2017). Dalam tuntutanya mereka menolak permendikbud no 23 tahun 2017 tentang kebijakan fullday school.
Kordinator unjuk rasa, Rahman Ahdori menuturkan, beberapa pekan ini rakyat Indonesia dibuat resah dengan kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Muhajir Efendi yang akan segera memberlakukan Full Day Schol (FDS) atau sistem pembelajaran seharian di semua tingkatan Sekolah di Indonesia. Menurutnya, hal itu akan mengakibatkan banyaknya lembaga pendidikan non formal yang gulung tikar. Salah satu kelompok yang resah dengan kebijakan ini adalah pendidik atau guru, terutama guru honorer yang setiap hari mengajar di lembaga pendidikan tertentu.
“Kami menuntut hapuskan komersialisasi pendidikan, tolak penghapusan mata pelajaran pendidikan agama di sekolah, dan menuntut Presiden RI Jokowi untuk mengevaluasi Permendikbud nomor 23 tahun 2017,” ujarnya.
Pihaknya meyakini, bahwa kebijakan ini hanya menguntungkan sebagian pihak karena tidak mempertimbangkan ribuan guru yang sudah mengantungkan hidupnya di lembaga pendidikan non formal tersebut terutama guru agama yang mengajar khsusus di Madrasah Diniyah Awaliyah.
Lebih lanjut ia mengatakan, selama ini sistem pendidikan di Indonesia umumnya pagi hari sampai siang hari belajar di sekolah umum. Sedangkan siang hari sampai sore hari belajar di lembaga pendidikan agama. Sistem ini dirasa mampu menumbuhkan karakter siswa terutama menyoal pendidikan agama, yang benar benar terbukti berhasil di transformasikan pada diri siswa.
"Bayangkan, jika FDS ini benar benar diberlakukan, akan banyak lembaga pendidikan agama (khsusunya) yang tidak lagi diperlukan sehingga secara otomatis akan tutup dengan sendirinya," katanya.
Dirinya menilai, Kemendikbud yang secara terang-terangan mempermainkan rakyat melalui perubahan kebijakan yang begitu cepat sangat mengkhawatirkan. Sebab, potensi pendidikan Indonesia yang seharusnya mulai maju justru akan terhambat hanya karena diributkan dengan kebijakan yang tidak pro rakyat tersebut. Jika kita membuka kembali sejarah, wacana FDS sudah mengemuka sejak tahun 1994 dan penolakan serupa juga terjadi terutama oleh kalangan ulama yang sudah terbiasa mengajar ngaji setelah santrinya datang dari sekolah umum.
"Ribuan lembaga pendidikan non formal seperti Madrasah Diniyah sudah terbukti mencetak ulama-ulama dan tokoh tokoh besar di Negeri ini. Masih banyak kebijakan lain yang harus dibenahi di Kemendikbud tidak harus FDS, yang sudah jelas banyak merugikan dan membuat resah rakyat Indonesia. Kebijakan ini juga seolah ada kegiatan komersialisasi di lembaga pendidikan di Indonesia," tuturnya.
Ia juga menduga, belum puas dengan kebijakan ini, Kemendikbud juga merencanakan akan menghapus pendidikan agama di Sekolah. Sikap ini semakin memperlambat proses masuknya keyakinan agama (Iman) pada siswa dan berpotensi masuknya ajaran radikalisme secara terang terangan.
"Apakah kita akan diam, ketika Pendidikan kita dibuat main main oleh mereka yang tidak tahu keadaan sebenarnya di Masyarakat? Apakah kita akan tinggal diam ketika Indonesia terancam lumbung ajaran radikal yang belakangan membunuh karakter nasionalisme kita?. Untuk itu kami dari Pengurus Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Serang, Pengurus Pusat (PP) Himpunan Mahasiswa Serang (HAMAS) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Serang menolak keras Permendikbud nomor 23 tahun 2017," tegasnya.
Adapun beberapa tuntutan mahasiswa diantaranya,
1.Hapuskan Komersialisasi Pendidikan
2.Tolak Penghapusan Mata Pelajaran Pendidikan Agama di Sekolah
3.Menuntut Presiden untuk mengevaluasi Permendikbud nomor 23 tahun 2017.
0 komentar:
Posting Komentar